Pada awal tahun
enam puluhan sampai tahun sembilan puluhan sudah mulai terasa pentingnya
untuk membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi Umat Islam
yang didominasi persoalan mu’amalah dunyawiyyah, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya dan bahkan masalah politik sekalipun. Adapun rumusan tajdîd yang
resmi dari Muhammadiyah adalah sebagai berikut: dari segi bahasa, tajdid
berarti pembaharuan dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
1. Pemurnian;
2. Peningkatan, pengembangan, modernisasi
dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai
pemeliharaan matan Ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur'an
dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian
istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri,
serta akal budi yang bersih, yang dijiwai Ajaran Islam. Menurut Persyarikatan
Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak Ajaran Islam.
Dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa
yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama Ajaran Islam: Al-Qur'an
dan Hadits, serta terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Kita
yakin bahwa Islam ini akan senantiasa terjaga, namun seringnya dalam praktek
yang dilakukan Kaum Muslimin terjadi perubahan, baik dalam bentuk pengurangan
maupun penambahan. Namun, kata-kata "yang dijiwai Ajaran Islam"
memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam meyelesaikan masalah-masalah yang
timbul sekarang ini dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur'an dan
Hadits. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah lagi Penyayang telah
memberikan anugerah-Nya dengan memunculkan para mujaddid yang mengikuti jejak Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghidupkan kembali Ajaran Islam yang
murni dan mengekang kebid’ahan serta membangkitkan semangat umat ini untuk
tetap istiqamah dengan ajaran agama yang benar. Kenisbian akal itu hanya
terbatas dalam memahami masalah-masalah ibadah yang ketentuannya sudah diatur
dalam nash.
Dalam masalah-masalah yang termasuk "al-umûr
al-dunyâwiyyat" penggunaan akal sangat diperlukan, untuk tercapainya
kemaslahatan umat manusia. Yang ada dalam konsep dasar Muhammadiyah adalah
dibedakannya antara masalah dunyawiyah di satu pihak dan masalah ibadah di
pihak lain. Yang dimaksud dengan masalah dunyawiyah itu adalah masalah-masalah
yang berhubungan dengan sesama manusia. Salah satu upaya yang ditawarkan Muhammadiyah
dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer adalah digiatkannya cara memahami
Al-Qur'an dan Hadits melalui pendekatan interdisipliner. Membangkitkan kembali
upaya mengamalkan Al-Qur`Ân dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
seluruh aspek kehidupan dan mengukur berbagai hal yang baru dengan Al-Qur`ân
dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ijtihad dalam Muhammadiyah dapat
diartikan sebagai upaya menyelesaikan masalah yang secara eksplisit tidak
terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits. Imam Muhammad bin Sulaiman al-Alqami
(wafat tahun 969 H) menyatakan, “Tajdîd adalah menghidupkan kembali pengamalan
al-Qur`ân dan sunnah serta apa yang menjadi tuntutan keduanya.”
Untuk menjadi kesemestaan dan keabadian Ajaran Islam
di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan
situasi baru. At–Tajdîd
adalah menghidupkan kembali pokok-pokok agama dan cabangnya yang telah hilang
dan mengembalikannya kepada kebenaran yang telah diajarkan Al-Qur`an dan sunnah
serta menghilangkan semua kebid’ahan dan khurafat yang bersemayam pada akal
manusia. Pada Muktamar Tarjih di Malang tahun 1989 mulai disusun Pokok-pokok
Manhaj Tarjih yang merumuskan secara garis besar tentang sumber dalam
beristidlal, tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu, penggunaan akal
dalam menyelesaikan masalah-masalah keduniaan dan yang penting adalah
dirumuskannya metode ijtihad dalam bentuk ijtihad bayani, qiyasi dan
istishlahi. Ijtihad bayani dipakai dalam rangka untuk mendapatkan hukum dari
nash dengan menggunakan dasar-dasar interpretasi. Pendekatan bayani merupakan
pendekatan yang menempatkan teks sebagai kebenaran hakiki, sedangkan akal hanya
menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan serta
menjasstifikasi nash yang ada. Metode dan pendekatan seperti ini tentu tidak
terbatas pada pendekatan normatif, tetapi lebih dari itu mengarah pada
pendekatan filosofis dan sufistik, yang sebelumnya tidak dikenal dalam
Muhammadiyah. Kelihatannya, upaya rekonstruksi pola fikir dan konsep pemecahan
masalah di kalangan Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari arus global dan
lokal yang berkaitan dengan kecenderungan memahami dan menafsirkan sumber Ajaran
Islam dalam dunia modern.
No comments:
Post a Comment